“Sah!” Serentak para saksi berucap, setelah calon mempelai pria dengan lancarnya mengucapkan ijab qabul di depan wali dan penghulu. Senyum bahagia dan tawa pun terlihat memancar di wajah kedua pengantin. Bukan hanya telah berhasil memiliki seseorang yang dicintai selama ini tapi juga karena telah menunaikan syariah Allah yang mulia yaitu pernikahan.
Ada banyak impian dan harapan dalam benak setiap pengantin baru. Idealisme dan ego yang masih kuat membuat bersemangat untuk mengejar cita-cita. Bayangan akan kemapanan rizki, kasih sayang yang tercukupi, berbagi waktu bersama dan banyak lagi harapan untuk menyempurnakan kebahagiaan pun seolah ada di depan mata. Terbayang dalam angan bahwa semua itu pasti akan terwujud.
Sahabat muslimah voa-islam yang dirahmati Allah, masihkah kita ingat saat itu, saat masih jadi pengantin baru? Seakan kebahagiaan akan selalu menghiasi hari dengan indahnya warna. Atau, kita sudah malas untuk mengingat karena ternyata impian dan harapan tak seperti kenyataan? Pernikahan saat ini terasa seperti bangunan keluarga yang gagal. Kemudian kita memilih untuk berfalsafah dengan menjalani hidup seperti air mengalir. Benarkah seperti itu?
Ada sebagian orang yang mengernyitkan dahi atau hanya mampu tersenyum kecut saat diajak membahas kebahagiaan rumah tangga. Pasalnya, apa yang dialami terasa berat sekali untuk menjalani rumah tangga. Mulai dari beban hidup yang kian banyak, pendapatan nafkan kian berkurang dan masalah pun silih berganti tiada henti.
Jangan Putus Asa, Masih Ada Waktu
Sahabat muslimah voa-islam, memang tidak salah memunyai cita-cita yang tinggi untuk membentuk keluarga sakinah mawaddan wa rahmah. Itu semua adalah sebuah motivasi agar kita selalu giat dalam menjalani hari. Hanya saja kita harus sadar, bahwa semakin tinggi cita-cita seseorang maka persiapan dan mujahadahnya pun harus makin konsisten. Sayangnya, banyak pasangan suami istri yang tak sabar menikmati sebuah proses menuju kebahagiaan serta kesuksesan itu sendiri.
Sebagai keluarga muslim, wajiblah sakinah mawadah warahmah dijadikan cita-cita sebagai puncak kesuksesan dalam berkeluarga. Kesuksesan materiil memang bukan segalanya meskipun tidak dipungkiri bahwa dengan mapannya rizki dalam sebuah keluarga maka itu akan menambah kebahagiaan tersendiri. Hanya saja kebahagiaan itu bukan pada mapannya rizki seseorang. Bahkan tidak jarang uang yang menumpuk dan harta yang melimpah malah mendatangkan banyak problema bagi keluarga itu sendiri.
Ulama banyak memberikan sebuah nasehat, bahwa kebahagian manusia itu terletak pada ketrentraman hati. Sedangkan ketentraman hati hanya akan bisa diraih dengan beribadah kepada Allah. Karena sejatinya, sosok keluarga muslim itu menjadikan ibadah kepada Allah menjadi puncak cita cita. Rasa bahagia itu sesungguhnya bukan hal yang wajib akan tetapi sebagai bonus semata. Justru aneh bila diri merasa bahagia tapi ternyata masih berjibaku dengan maksiat dan enggan ibadah. Hal seperti itu jelas tidak baik adanya.
Maka marilah merenung sebentar. Apakah sebenarnya pengharapan terbesar kita dari sebuah pernikahan? Bukankah tidak mudah menjalani kehidupan rumah tangga yang berjalan bukan di atas prinsip sakinah dan menjauh dari sunatullah berpasangannya dua insan? Padahal banyak yang telah kita korbankan. Harta, tenaga, biaya, waktu, hingga perasaan yang seringkali tercabik-cabik. Kita hamba yang beriman tentu tidak sulit menemukan jawabannya jika kita mencarinya di dalam Al Quran atau Hadist Nabi.
Di dalam surat At Tahrim ayat 6 Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman jagalah diri dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu.
Inilah prinsip dasar pernikahan itu. Sebuah prosesi yang mungkin bisa sangat seserhana dan mudah namun memiliki konsekuensi berat dan agung. Bersatu untuk saling membahagiakan, memilih untuk bertanggung jawab. Dan itu puncaknya adalah jannah, bersatu dan berkumpul dalam kebahagiaan hakiki.
Rasulullah SAW. bersabda : Sungguh Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang kepemimpinannya, apakah dia menjaga atau mengabaikan. Hingga Allah bertanya kepada seorang laki-laki tentang keluarganya. (HR. Ibnu Hibban)
Sedangkan kerugian terbesar adalah keluarga yang di dunia menderita dan tercerai-berai, di akhirat karenanya terlempar ke dalam neraka. Seperti yang tercantum dalam QS. Az Zumar ayat 15: Katakanlah : sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah yang merugikan diri sendiri dan keluarga mereka pada hari kiamat. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.
Jadi masih ada waktu untuk memulai semua dari awal, bila saat ini kita masih.belum menjadikan ibadah sebagai jalan kebahagiaan. Mari kita awali semua untuk.kebahagiaan sejati, dengan mengajak pasangan kita beribadah kepada Allah. (voa-islam)